Senin, 16 Maret 2009

BUNGA ITU MEMANDANGKU DENGAN WAJAH MENYALA


Masa senja dan sayup angin kecil. Terpisah-pisah jadi musim salju, pepohonan merambat sampai kaki udara yang pecah. Kuda hitam dengan batang jalanan di dadanya…..memekik bunga berkepala laron. Ini taman….taman nenek moyangku yang sundal. Beliau suka rumput yang tajam, bunga jalang dan malam yang menguning di atap rumah. Aku menangkap 2 bola mata yang terjatuh kedasar kaki…..bunga-bunga tertunduk dan memandangku penuh, siapa yang telah membuatnya berhati merah? Kupu-kupu tak tampak menaruh tubuhnya pada bunga lembut yang mekar.
Hujan menampar tanah yang rekah, berasap dan penuh uap perih dan kotor. Aku berlari menyayat perih…..tiba-tiba bunga itu gelap seperti tubuh malam. Dengan hati resah ku pergi dan memandangnya jauh…..pematang seperti sayap seekor elang, mengibas-ngibaskan tubuhku yang ringan. Catatan yang cukup melelahkan! Lembar-lembar kata yang berembun! Lembar-lembar kota yang berembun. Perihal bunga…..memandangku dengan mata menyala. Berhamburan rasa curiga seperti lebah mengurumuni hatiku. Aku merasa gadis paling liar ketika pulang dalam keadaan bisu. Kulihat sepotong daging segar di atas batu. Kurasa itu janin yang sengaja dibuang . keadaan rumah yang nampak sepi dari segala ingatan.
Pun aku ingat seorang teman yang bercerita tentang buah jeruk dan setangkai bunga lusuh. Dia meminta secangkir kopi agar Berkeringat dan lupakan tentang kisah itu. Namun pada pagi yang begitu diam, kepulangan mulai mencari dirinya. Ah, barangkali terbunuh dengan ular melingkar diselangkangannya. Apa yang telah ia perbuat?
Rubanaein: jam dinding ribut mengetuk jari-jarinya dengan pisau. Ah, seekor cicak mengumpat seekor nyamuk, karena ia tak sepenuhnya telanjang. Dimana dadanya? Hatinya? Lututnya?...ah, dia begitu kecil tapi nyata.

Jendela terbahak melihat matahari di rok seorang waria “dasar tak tau malu!!” umpat si waria. Pagi memang penuh kehidupan yang unik. Kelihatan belangnya!

Pada hari sabtu yang tergesa-gesa…..catatanku basah, menggenanglah huruf-huruf itu menjadi semacam amarah baru dikepalaku “harus ku hapus wajahnya sekalian!” di atas tungku tempat ibu menanak daging segar. Darahku mengeras dan mematahkan angin dipundaknya.
“sial! Tak ada keberutungan disini” merenungi kegagalan yang terlanjur sepah.
Hahaha……ada uang menganga, cukup untuk tutup mulut!