Sabtu, 07 Februari 2009

BAYI-BAYI ANGIN YANG MENURUNI LEMBAH KOTA




Satu
Dasar Tuhan memang penuh rahasia! Bayi-bayi terapung malam ini, mereka tak memilih mati karena tau suatu saat akan menjadi penguasa dengan beberapa kota yang bisa saja setiap saat mereka beli. Barangkali angin lebih bermartabat untuk itu. Rasanya amat keras jika harus menunggunya di sekolah….bukankah barisan anjing betina lebih tau posisi mereka dengan cara meludah dikakimu? Atau merebut ususmu, memakannya dengan sembunyi! Ah, apa yang akan dilakukan seorang penjual daging jika kemaluannya dibelah dan menjualnya dengan harga yang lebih murah dari biasanya. Murahan!! Barangkali aku akan tersungkur dengan beberapa anjing yang bau!
Rubanaein: demi Nabi…ketika pagi hari datang dengan saling tuding saling hujat, apa yang kau harap dari sebuah kejujuran? Mereka-reka permainan dan menumpahkannya keperutmu? Atau bisa saja dengan menggulung kartu dan melibatkan beberapa pengecut untuk mematikan segalanya “serakah memang keras kepala” dan aku mencatat seluruh percakapan dengan mentertawakan keheningan.

Dua
Rubanaein: senja mengabarkan bahwa laut meregang dibilik kota, semua gelisah dan kau sepi. Namamu mungkin kembali membikin kehidupan dikepalaku, tapi aku tak tahu jika harus menuruni lembah kota dengan setia. Berjam-jam suara angin melangkahi detak jantungku. Apa ku harus menyebutnya rindu? Sementara dirimu lebih nyata dari segalanya. Tapi memang serba tak mengerti harus menjalaninya dengan bebas.



Tiga
Baiklah, aku akan katakan bahwa semua ini hanyalah perayaan pekerja seni, darah yang merayapi trotoar dan kepala-kepala mereka yang buas. Malam-malam merah tua, segalanya serupa bayi-bayi yang tak pernah tahu keributan. Seorang pemimpin seperti tak bisa melewati hari-harinya dengan lelap dan kita mudah membikinnya kehilangan segalanya….
Rubanaein: semua buku tentang negara sudah lusuh dan kepalaku rusak! Suatu saat keadilan akan meratapi dirinya sendiri, Indonesia tergusur atau tergusur, rakyat longsor atau terlongsorkan.
Pelapar akan hidup makmur dengan dagingnya sendiri.

Empat
Aku sedang berpikir bagaimana pemikiran-pemikiran ini tidak curang. Seorang ayah melangkahi anaknya lantas menyuruh diam nyaris seperti budak munafik. Bayi-bayi angin yang deras tercekat dikakinya….”bacok saja kepalanya, besar nanti dia resmi benalu!!”

Lima
Hamm…pelukan kita harum, Rubanaein. Apa kau yakin?


Enam
Gemeletar cahaya pagi menukik dibahuku, angin berhamburan, jumpalitan daun-daun akasia….
Seorang bintang sinetron berteriak pekak ditelevisi, tampak merobek dada seorang kopral polisi yang tanpa sengaja menyinggol kelaminnya “dasar babi!!” orang-orang mengerumuni bayi yang terinjak pada saat kejadian itu. Celaka! Sementara kau bernyanyi renyah sambil memotong kuku. Wajah ibu terlempar ke got merah, tempat pemburu mengelupas daging babi hutan.
Rubanaein: semua orang berbondong-bondong….yang katanya menuntut hak! Apa hak itu?
Barangkali menurut mereka hak itu adalah makan sampai kenyang.

Tujuh
Rubanaein: hari ini perayaan, segala macam makanan ikut merundingkan permasalahan-permasalahan mereka yang bertamu. Apa kau tak ikut membenahi diri? Pada sura-suara kenyataan yang gemetar, bayi-bayi angin meniup pepohonan, melambai kematamu. Bulan meraup 7 bunga di halaman. Sepi….dirimu.

Delapan
Harga diri kembali murah, batang-batang leher menanjak sampai ubun. Ibu menjilat pantat kucing yang mencuri pahanya…api,api dimatamu!
Jalanan kota memanjat langit, membuang puisi keselokan. Ada yang berbisik dengan suara terbata…pengemis-pengemis meregang nyawa dipelukan para pelacur. Mengamini hidup dengan segala kebusukan. Orang-orang busuk seperti kita yang kembali menghitung manusia yang menagis di negeri sendiri. Ada banyak pembuangan darah serupa sungai yang mengalir .
Rubanaein: apa kabar negeri hujan? Adakah ia terpuruk seperti kesepian kita?

Sembilan
Dari kegelisahan milikku, dari kepenatan milikku, dari kelukaan milikku, kembalilah segala sunyi yang ku peluk darimu!

Sepuluh
Bayi-bayi, pencuri, waktu, pintu, tempat penyimpan segala sesuatu dari sesuatu. Jalanan merangkak melompati kepalaku dan menggantung segala wajah. Pada detik-detik yang berlalu…
Sembunyilah segala nafas, tersendat, entah!
Rubanaein: Rokieb bilang hidup itu pelecehan, apa dia seorang peleceh? Entah!
Rumah-rumah di sekitar kita mempunyai pintu belakang yang sama busuknya.
Fariji, Umam….memiliki nafas binal dan wajah yang terganggu sarafnya . lalau memey? Tubuhnya banjir, tapaknya karam. Ah, pelaku kriminal yang tak diduga, pencuri kantor sekolah, segala kemunafikan guru-guru suka terlambat dan pencuri bibir mereka.
Siapa pelaknat terpuji selain sepi? Waktu. Maka segalanya akan dihalalkan. Perumpamaan-perumpamaan ritual bejat, keheningan yang di uji dengan beberapa kepedihan yang naif. Lantas…kemana jiwa itu merenungi kenestapaan juga janji? Janji pada tubuhmu sendiri, janji pada tubuhku sendiri. Janji-janji dan amarah. Kaulah kesederhanaan itu! Penyantun sepi dan kemuliaan malam-malam sunyi. Pada angin ku lontar wajah rembulan jadi matahari. Ya, pada waktu yang akan segera tiba…suara-suara Yogyakarta memenggal seluruh pertemuan. Kota yang begitu ramah membangun nama-nama dikepalaku. Dan bayangan tentangmu (Yogyakarta) adalah kesederhanaan sepi dan arifnya wajah kekasihku.
Rubanaein: mari menuruni lembah usai kita bercengkerama tentang mimpi, mari menuruni lembah sebab kita sepi dan akan mati, mari menuruni lembah sebab pulang adalah kemalangan yang hakiki, mari menuruni lembah sebab puisi adalah kekalahan hidup. Mari menuruni lembah sebab penyair adalah penyindir, mari menuruni lembah sebab Tuhan adalah bongkahan. Mari menuruni lembah sebab kita adah pedebah. Mari…mari menuruni lembah!

Ket:
1. Gambar (MUHAMMAD RIDWAN / PERSPEKTIF #4 /Akrilik Diatas Kanvas / 200cm x 150 cm / 2007) galeribelanak.wordpress.com